Tentang 7 Malaikat Penjaga 7 langit
Sebuah hadits yg bersumber dari Al Ghazali, Minhajul Abidin, dan Bidayatul Hidayah.
Oleh Kana Kurnia
Dengan atas asma Allah Yang Pemurah dan Penyayang
Ibnu Mubarak
menceritakan bahwa Khalid bin Ma’dan berkata kepada Mu’adz, “Mohon Tuan
ceritakan hadits Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam yang Tuan hafal
dan yang Tuan anggap paling berkesan. Hadits manakah menurut Tuan?
Jawab Mu’adz, “Baiklah, akan kuceritakan.”
Selanjutnya,
sebelum bercerita, beliau pun menangis. Beliau berkata, “Hmm, Betapa
rindunya diriku pada Rasulullah, ingin rasanya diriku segera bertemu
dengan beliau.”
Kata beliau
selanjutnya, “Tatkala aku menghadap Rasulullah sallAllahu ‘alayhi
wasallam, beliau menunggang unta dan menyuruhku agar naik di belakang
beliau. Kemudian berangkatlah kami dengan berkendaraan unta itu.
Selanjutnya beliau menengadah ke langit dan bersabda:
Puji syukur ke hadirat Allah Yang Berkehendak atas makhluk-Nya, ya Mu’adz!
Jawabku, “Ya Sayyidi l-Mursalin”
Beliau
kemudian berkata, ‘Sekarang aku akan mengisahkan satu cerita kepadamu.
Apabila engkau menghafalnya, cerita itu akan sangat berguna bagimu.
Tetapi jika kau menganggapnya remeh, maka kelak di hadapan Allah, engkau
pun tidak akan mempunyai hujjah (argumen).
Hai Mu’adz!
Sebelum menciptakan langit dan bumi, Allah telah menciptakan tujuh
malaikat. Pada setiap langit terdapat seorang malaikat penjaga pintunya.
Setiap pintu langit dijaga oleh seorang malaikat, menurut derajat pintu
itu dan keagungannya.
Dengan
demikian, malaikat pula-lah yang memelihara amal si hamba. Suatu saat
sang Malaikat pencatat membawa amalan sang hamba ke langit dengan
kemilau cahaya bak matahari.
Sesampainya
pada langit tingkat pertama, malaikat Hafadzah memuji amalan-amalan itu.
Tetapi setibanya pada pintu langit pertama, malaikat penjaga berkata
kepada malaikat Hafadzah:
“Tamparkan
amal ini ke muka pemiliknya. Aku adalah penjaga orang-orang yang suka
mengumpat. Aku diperintahkan agar menolak amalan orang yang suka
mengumpat. Aku tidak mengizinkan ia melewatiku untuk mencapai langit
berikutnya!”
Keesokan
harinya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal shaleh
yang berkilau, yang menurut malaikat Hafadzah sangat banyak dan terpuji.
Sesampainya
di langit kedua (ia lolos dari langit pertama, sebab pemiliknya bukan
pengumpat), penjaga langit kedua berkata, “Berhenti, dan tamparkan
amalan itu ke muka pemiliknya. Sebab ia beramal dengan mengharap dunia.
Allah memerintahkan aku agar amalan ini tidak sampai ke langit
berikutnya.” Maka para malaikat pun melaknat orang itu.
Di hari
berikutnya, kembali malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amalan
seorang hamba yang sangat memuaskan, penuh sedekah, puasa, dan berbagai
kebaikan, yang oleh malaikat Hafadzah dianggap sangat mulia dan terpuji.
Sesampainya di langit ketiga, malaikat penjaga berkata:
“Berhenti!
Tamparkan amal itu ke wajah pemiliknya. Aku malaikat penjaga kibr
(sombong). Allah memerintahkanku agar amalan semacam ini tidak pintuku
dan tidak sampai pada langit berikutnya. Itu karena salahnya sendiri, ia
takabbur di dalam majlis.”
Singkat
kata, malaikat Hafadzah pun naik ke langit membawa amal hamba lainnya.
Amalan itu bersifat bak bintang kejora, mengeluarkan suara gemuruh,
penuh dengan tasbih, puasa, shalat, ibadah haji, dan umrah. Sesampainya
pada langit keempat, malaikat penjaga langit berkata:
“Berhenti!
Popokkan amal itu ke wajah pemiliknya. Aku adalah malaikat penjaga ‘ujub
(rasa bangga terhadap kehebatan diri sendiri) . Allah memerintahkanku
agar amal ini tidak melewatiku. Sebab amalnya selalu disertai ‘ujub.”
Kembali
malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal hamba yang lain. Amalan
itu sangat baik dan mulia, jihad, ibadah haji, ibadah umrah, sehingga
berkilauan bak matahari. Sesampainya pada langit kelima, malaikat
penjaga mengatakan:
“Aku
malaikat penjaga sifat hasud(dengki) . Meskipun amalannya bagus, tetapi
ia suka hasud kepada orang lain yang mendapat kenikmatan Allah swt.
Berarti ia membenci yang meridhai, yakni Allah. Aku diperintahkan Allah
agar amalan semacam ini tidak melewati pintuku.”
Lagi,
malaikat Hafadzah naik ke langit membawa amal seorang hamba. Ia membawa
amalan berupa wudhu’ yang sempurna, shalat yang banyak, puasa, haji, dan
umrah. Sesampai di langit keenam, malaikat penjaga berkata:
“Aku
malaikat penjaga rahmat. Amal yang kelihatan bagus ini tamparkan ke
mukanya. Selama hidup ia tidak pernah mengasihani orang lain, bahkan
apabila ada orang ditimpa musibah ia merasa senang. Aku diperintahkan
Allah agar amal ini tidak melewatiku, dan agar tidak sampai ke langit
berikutnya.”
Kembali
malaikat Hafadzah naik ke langit. Dan kali ini adalah langit ke tujuh.
Ia membawa amalan yang tak kalah baik dari yang lalu. Seperti sedekah,
puasa, shalat, jihad, dan wara’. Suaranya pun menggeledek bagaikan petir
menyambar-nyambar, cahayanya bak kilat. Tetapi sesampai pada langit ke
tujuh, malaikat penjaga berkata:
“Aku
malaikat penjaga sum’at (sifat ingin terkenal). Sesungguhnya pemilik
amal ini menginginkan ketenaran dalam setiap perkumpulan, menginginkan
derajat tinggi di kala berkumpul dengan kawan sebaya, ingin mendapatkan
pengaruh dari para pemimpin. Aku diperintahkan Allah agar amal ini tidak
melewatiku dan sampai kepada yang lain. Sebab ibadah yang tidak karena
Allah adalah riya. Allah tidak menerima ibadah orang-orang yang riya.”
Kemudian
malaikat Hafadzah naik lagi ke langit membawa amal dan ibadah seorang
hamba berupa shalat, puasa, haji, umrah, ahlak mulia, pendiam, suka
berdzikir kepada Allah. Dengan diiringi para malaikat, malaikat Hafadzah
sampai ke langit ketujuh hingga menembus hijab-hijab (tabir) dan
sampailah di hadapan Allah. Para malaikat itu berdiri di hadapan Allah.
Semua malaikat menyaksikan amal ibadah itu shahih, dan diikhlaskan
karena Allah.
Kemudian Allah berfirman:
“Hai
Hafadzah, malaikat pencatat amal hamba-Ku, Aku-lah Yang Mengetahui isi
hatinya. Ia beramal bukan untuk Aku, tetapi diperuntukkan bagi selain
Aku, bukan diniatkan dan diikhlaskan untuk-Ku. Aku lebih mengetahui
daripada kalian. Aku laknat mereka yang telah menipu orang lain dan juga
menipu kalian (para malaikat Hafadzah). Tetapi Aku tidak tertipu
olehnya. Aku-lah Yang Maha Mengetahui hal-hal gaib. Aku mengetahui
segala isi hatinya, dan yang samar tidaklah samar bagi-Ku. Setiap yang
tersembunyi tidaklah tersembunyi bagi-Ku. Pengetahuan- Ku atas segala
sesuatu yang telah terjadi sama dengan pengetahuan- Ku atas segala
sesuatu yang belum terjadi.
Pengetahuan- Ku atas segala sesuatu yang
telah lewat sama dengan yang akan datang. Pengetahuan- Ku atas segala
yang telah lewat sama dengan yang akan datang. Pengetahuan- Ku atas
orang-orang terdahulu sama dengan pengetahuan- Ku atas orang-orang
kemudian.
Aku lebih
mengetahui atas sesuatu yang samar dan rahasia. Bagaimana hamba-Ku dapat
menipu dengan amalnya. Mereka mungkin dapat menipu sesama makhluk,
tetapi Aku Yang Mengetahui hal-hal yang gaib. Aku tetap melaknatnya…!”
Tujuh malaikat di antara tiga ribu malaikat berkata, “Ya Tuhan, dengan demikian tetaplah laknat-Mu dan laknat kami atas mereka.”
Kemudian semua yang berada di langit mengucapkan, “Tetaplah laknat Allah kepadanya, dan laknatnya orang-orang yang melaknat.”‘
Sayyidina
Mu’adz (yang meriwayatkan hadits ini) kemudian menangis tersedu-sedu.
Selanjutnya berkata, “Ya Rasulallah, bagaimana aku bisa selamat dari
semua yang baru engkau ceritakan itu?”
Jawab Rasulullah, “Hai Mu’adz, ikutilah Nabimu dalam masalah keyakinan (keimanan).”
Tanyaku
(Mu’adz), “Engkau adalah Rasulullah, sedang aku hanyalah Mu’adz bin
Jabal. Bagaimana aku bisa selamat dan terlepas dari bahaya tersebut?”
Berkatalah
Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Memang begitulah, bila ada
kelengahan dalam amal ibadahmu. Karena itu, jagalah mulutmu jangan
sampai menjelekkan orang lain, terutama kepada sesama ulama. Ingatlah
diri sendiri tatkala hendak menjelekkan orang lain, sehingga sadar bahwa
dirimu pun penuh aib. Jangan menutupi kekurangan dan kesalahanmu dengan
menjelekkan orang lain.
Janganlah mengorbitkan dirimu dengan menekan
dan menjatuhkan orang lain. Jangan riya dalam beramal, dan jangan
mementingkan dunia dengan mengabaikan akhirat. Jangan bersikap kasar di
dalam majlis agar orang takut dengan keburukan akhlakmu. Jangan suka
mengungkit-ungkit kebaikan, dan jangan menghancurkan pribadi orang lain,
kelak engkau akan dirobek-robek dan dihancurkan anjing Jahannam,
sebagaiman firman Allah dalam surat An-Naziat ayat 2.”
Tanyaku selanjutnya, “Ya Rasulallah, siapakah yang bakal menanggung penderitaan seberat itu?”
Jawab
Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Mu’adz, yang aku ceritakan tadi
akan mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah. Engkau harus mencintai
orang lain sebagaimana engkau menyayangi dirimu. Dan bencilah terhadap
suatu hal sebagaimana kau benci bila itu menimpa dirimu. Jika demikian
engkau akan selamat.”
Khalid bin
Ma’dan meriwayatkan, “Sayyidina Mu’adz sering membaca hadits ini seperti
seringnya membaca Al-Qur’an, dan mempelajari hadits ini sebagaimana
mempelajari Al-Qur’an di dalam majlis.”
Wallohu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar
Blog Ini Membutuhkan Saran-saran Anda Sebagai Masukan